VISI MISI BEM FMIPA UB 2014
Engkau
menang, bila suksesmu membuat orang lain tergugah melangkah. Engkau menang,
bila usahamu menjadi pintu hidayah menggerakkan perubahan. Dan engkau menang,
bila seluruh alam merasakan tebaran manfaatmu.
-“The Way to Win”
Dalam setiap agenda perubahan sebuah bangsa, selalu
terselip peran pemuda di baliknya. Tidak bisa dipungkiri, dari sebagian pemuda
penggiat perubahan itu, juga dapat dipastikan mereka kalangan terdidik
(mahasiswa). Dari masa ke masa di dalam setiap lembaran sejarah, mahasiswa
sebagai sosok pemuda selalu menjadi pemeran utama dalam setiap perubahan dan
pembangunan sebuah peradaban manusia. Mari sejenak kita buka kembali lembaran
sejarah kemerdekaan bangsa kita. Baca saja jalan hidup Soekarno, Bung Hatta,
Sjahrir, hingga Tan Malaka. Mereka semua rata-rata pada saat berusia dua
puluhan tahun sudah aktif dalam dunia pergerakan untuk memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia. Kenyamanan dan ketenangan hidup mereka singkirkan.
Alih-alih kooperatif terhadap pemerintah kolonial dan mungkin saja mereka akan
mendapatkan pekerjaan dan jabatan nyaman dari Belanda. Namun mereka justru
lebih memilih untuk keluar masuk penjara dan diasingkan.
Sejatinya,
mahasiswa sebagai pemuda generasi penerus bangsa memiliki tiga amanah penting
yang tak tergantikan hingga saat ini. Yaitu sebagai iron stock, social
control, serta sebagai agent of change. Sebagai iron
stock, mahasiswa inilah yang memiliki peran sebagai generasi penerus utama
dari para pemimpin yang telah ada saat ini. Mereka harus siap kapan saja untuk
segera menggantikan pemimpin-pemimpin tua yang sudah lama berperan. Dua tugas
suci mahasiswa berikutnya yang sangat penting bagi eksistensi sebuah bangsa,
yakni sebagai pengontrol sosial, sekaligus sebagai agen perubahan di dalam
tatanan masyarakat. Sebagai social control, mahasiswa berkewajiban
sebagai pengontrol kondisi sosial di dalam masyarakat, baik di sekitar mereka
tinggal, maupun secara luas yakni Indonesia secara keseluruhan. Segala fenomena
dan gejala sosial yang terjadi, sudah seharusnya menjadi perhatian para
mahasiswa. Kemiskinan, kasus asusila, tawuran, hingga kerusakan lingkungan
merupakan sebuah tugas besar yang menjadi PR para pemuda bangsa.
Atas dasar
sebagai pengontrol sosial tersebutlah, maka mahasiswa otomatis bertugas sebagai
agen perubahan. Setiap keadaan sosial dan kebangsaan yang tidak beres pada hari
ini, harus segera diselesaikan oleh para mahasiswa sebagai elemen pemuda
intelektual.
Berangkat
pada tugas utama nan suci mahasiswa tersebut, maka yang patut kita pertanyakan
saat ini adalah bagaimana peran mahasiswa saat ini dalam mengemban tugas amanah
besar tersebut. Bangsa ini tentunya sangat berharap kepada mahasiswa yang
merupakan elemen pemuda dalam masyarakat sekaligus kaum intelektual sebuah
bangsa. Harapan besar terhadap mahasiswa sebagai pemuda ini merupakan hal yang
wajar. Karena, kecil kemungkinan bangsa ini berharap kepada kaum tua, yang mana
mereka bahkan sudah tidak berani banyak lagi untuk mengambil tindakan-tindakan
dan manuver ekstrim. Selain itu kemampuan berpikirnya pun sudah buntu karena
faktor usia.
Namun
harapan ini sepertinya kini semakin sulit kita temukan realisasinya. Melihat
kondisi saat ini, mahasiswa semakin jauh dari harapan bangsa. Semakin banyak
penyakit-penyakit kronis yang menjangkiti mahasiswa mulai dari tawuran hingga
asusila. Bagaimana mahasiswa akan melakukan perubahan, jika mereka yang
bertindak sebagai agen perubahan justru rusak. Selain itu, permasalahan
besarnya adalah kian tumbuh suburnya sikap apatisme di dalam jiwa mahasiswa.
Sepertinya mahasiswa saat ini kian galau dan menjadi semakin gamang dalam
menghadapi arus globalisasi dunia yang merambah masuk ke Indonesia.
Bagaimana
tidak, selain sudah sibuk dalam jadwal perkuliahannya yang sangat padat dan
dituntut untuk segera lulus, mereka pun dipusingkan dengan tuntutan zaman agar
bagaimana setelah wisuda segera mendapatkan kerja. Keadaan zaman saat ini
seakan-akan menjebak dan memerangkap mahasiswa ke dalam kondisi yang membuat
mereka tak sempat lagi memperhatikan gejala sosial di sekitar mereka. Mereka terkungkung
dalam kesibukan dan dunia mereka sendiri. Mahasiswa kian tergencet oleh
kewajiban-kewajiban kuliah mereka. Absen kuliah maksimal tiga kali, lebih dari
itu terancam mendapatkan nilai buruk. Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) pun kini
standarnya semakin tinggi. Jika tidak mencapai tiga, maka stigma di mahasiswa
adalah bakal susah mendapatkan kerja. Lulus kuliah pun, kian berubah
orientasinya.
Dari yang
dahulu untuk menuntut ilmu secara luas, kini berkutat pada orientasi selembar
ijazah bertuliskan gelar sarjana. Sehingga, jika masa studi lebih dari tiga
tahun setengah akan mendapatkan cap sebagai mahasiswa yang malas. Kalau sudah
dikejar tuntutan zaman globalisasi seperti ini, maka bagaimana lagi mahasiswa
bisa memikirkan untuk sekadar aktif berorganisasi dan belajar memikirkan
bangsa?
Hal ini yang
sangat berbahaya bagi kelangsungan bangsa kita. Kesibukan yang menyita pikiran
sehingga timbul sikap acuh tak acuh terhadap permasalahan sosial bangsa.
Melihat realita seperti ini, maka orientasi pendidikan kita harus segera
diperbaiki. Selama ini mungkin pendidikan kita masih saja hanya sebatas
orientasi prestasi akademik dan nilai hasil ujian semata. Pendidikan kita
seharusnya lebih berorientasi kepada nilai, dan penanaman budaya semangat untuk
terus menuntut ilmu. Sehingga, jika kita menengok kembali sejarah kejayaan ilmu
pengetahuan di masa lalu, kita dapat menemukan di mana banyak tumbuh tokoh ilmu
pengetahuan dunia, seperti salah satunya Ibnu Sina. Beliau merupakan seorang
dokter, namun ia tidak egois atas kesibukan pribadinya sebagai professional. Ia
juga masih sempat untuk membahas dan membangun peradaban melalui ilmu-ilmu lain
yang dimilikinya seperti fisika, filsafat, sastra hingga politik.
Semestinya
kita semua menyadarinya. Jangan sampai penerus bangsa ini terjebak dalam
kerasnya globalisasi. Sehingga kita terlena atas dunia kita sendiri dan
melupakan masa depan bangsa. Karena peradaban manusia bukan hanya dibangun oleh
ilmu pengetahuan semata, tetapi juga membutuhkan sentuhan nilai-nilai dan
norma.
Proklamator
Republik Indonesia, Bung Karno, pernah meneriakkan dengan lantang bahwa
“Berikan aku 10 Pemuda, maka kita akan mengguncangkan Dunia!” Satu kalimat yang
menegaskan bahwa pemudalah yang kemudian berkesempatan dan pantas menjadi
seorang agent of change, pengawal perubahan sekaligus
penggerak perubahan. Tidak lagi terelakkan bahwa pemuda merupakan aset bangsa.
Yang selanjutnya menjadi pertanyaan adalah pemuda yang bagaimana? Pemuda dengan
karakter seperti apa yang mampu mengawal perubahan, khususnya di lingkungan
terdekatnya? Oleh karena itu dari pertanyaan dan permasalahan yang ada pada
bangsa ini, maka kami akan berikan ide-ide dan solusi baru yang terkemas dalam
visi misi sebagai berikut :
VISI MISI BEM FMIPA
2014
VISI
Maju Bersama, Cerdas Berkarya, Konsisten Melayani
MISI
- 1 Memberikan pengembangan kepada civitas akademika dalam setiap program kerja berbasis Sains dan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
- 2 Memberikan pelayanan optimal dan advokasi untuk kesejahteraan mahasiswa Fakultas MIPA Universitas Brawijaya.
- 3 Menjalin komunikasi yang sinergis untuk Harmonisasi Lembaga Kedaulatan Mahasiswa Fakultas MIPA Universitas Brawijaya.
Komentar
Posting Komentar