---------( BER’UZLAH DI PESANTREN )----------
Ketika
kita mengingat terhadap hiruk-pikuknya dunia pada saat ini, sungguh sama sekali
tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan bersama. Apalagi ditambah dengan
kemajuan teknologi yang berkembang begitu pesat, sehingga kebutuhan apa saja
yang kita inginkan misalnya seperti informasi, komunikasi bahkan saat ini yang
lagi gencar-gencarnya adalah bagi kelas akhir khususnya tingkat SMA/sederajat
(yang ingin melanjutkan ke PTN) harus mendaftar lewat on-line di internet.
Itulah
sebagian alasan mengapa penulis mengangkat tema di atas, karena memang sudah
banyak sekali penyimpangan yang terjadi di negri ini yang katanya merupakan
negri yang penduduknya mayoritas beragama islam. Oleh karena itu, kita sebagai
generasi bangsa jangan hanya mengandalkan dan mengedepankan kecerdasan
intelektualnya saja, akan tetapi harus dimbangi dengan kecerdasan spiritual
yang memang merupakan kebutuhan primer kita. Sehingga dengan semakin
bertambahnya ilmu, kita tidak sampai lupa kepada Allah SWT. sebagai pencipta
alam semesta termasuk ilmu yang kita peroleh. Dan salah satu cara yang bisa
kita (khususnya kaum santri) lakukan adalah dengan ber’uzlah di pangkuan yang
Maha Kuasa.
Sebenarnya
ada dua alasan yang diungkapkan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Siraj
Al-Thalibin mengenai memisahkan diri dari khalayak ramai (uzlah).
Pertama, bergaul dengan khalayak ramai dapat menyebabkan kita lalai beribadah.
Kedua, ibadah yang dilakukan akan terjangkit virus penyakit-penyakit hati,
seperti halnya riya’ (ingin dilihat baik oleh orang lain), ‘ujub (kagum dengan
dirinya) dan lain sebagainya.
Yahya
bin Mu’adz berkata, “Keheningan adalah sahabat orang jujur”. Ternyata
pada akhirnya, hasil yang didapat dari tafakkur itu adalah ia akan memahami
hakikat sesuatu dan keagungan Allah SWT. serta mengetahui dan mewaspadai
penghalang-penghalang yang merintanginya dalam beribadah. Inilah yang
menyebabkan pahala tafakkur sangatlah besar. Sehingga Rosulullah bersabda yang
artinya, “Bertafakkur sesaat lebih baik dari pada beribadah tujuh puluh
tahun”.
Demikianlah posisi uzlah dalam
menempuh suluk kepada Allah SWT. Bila perjalanan suluknya sampai pada puncak,
maka ia tidak lagi terpengaruh oleh hiruk-pikuk dunia dan segala tetek
bengeknya. Tapi yang dirasakan hanyalah suasana ”asik masyuk” dalam
bermunajat kepada Tuhannya. Itulah yang disebut khalwat yakni secara fisik dia
bersama manusia tapi hatinya terpaut dengan Allah. Khalwat merupakan satu dari
empat rukun bagi murid (santri) yang harus dilewati dalam mejalani suluk. Rukun
yang lain adalah shumt (diam), jhu’ (lapar), dan sahr
(tidur malam).
Lantas
bagaimana caranya ber’uzlah? Sebelum memutuskan untuk uzlah, sikap yang pertama
kali ditanamkan dalam hati adalah meyakini bahwa dengan tindakannya (memisahkan
diri dari mereka), masyarakat akan terhidar dari kejahatan dirinya, bukan malah
dirinya yang terhindar dari kejahatan mereka. Dengan demikian tidak ada
perasaan sok suci dan menganggap orang lain jahat. Karena memang sudah jelas Rosulullah
SAW. bersabda ; “ajhalunnas man yuzakki nafsahu” yang artinya paling
bodohnya seseorang adalah orang yang menganggap dirinya paling suci.
Subhanallah.
Selanjutnya,
kita harus mengetahui dan mengamalkan
kewajiban–kewajiban ibadah secara lahir maupun batin. Sehingga, dalam proses
uzlah tidak terpengaruh bisikan-bisikan setan dan hawa nafsu yang
menjerumuskannya. Abu Ya’qub Al- Susiy mengatakan, “Hanya orang-orang yang
sangat kuat sajalah yang mampu menyendiri”.
Nah,
sekarang yang harus kita pikirkan adalah dimanakah posisi para penuntut ilmu
atau yang lebih lumrah kita panggil di pondok adalah santri? Apakah mereka
semuanya harus memisahakan diri dari khalayak ramai sementara mencari ilmu
(terutama ‘ilm al-hal) hukumnya wajib?.
Dalam
hal ini Imam Al-Ghazali memberikan jawabannya. Bahwa para santri yang berada di
bawah bimbingan kiainya tidak perlu melakukan uzlah. Akan tetapi, mereka harus tunduk
dan pasrah kepada kiai seperti halnya jenazah yang sedang dimandikan. Imam Al-Ghazali
sendiri menyatakan bahwa bermukim (nyantri) di pesantren merupakan jalan yang
terbaik bagi para santri. Dimana mereka akan mendapatkan dua faedah, yaitu : pertama,
secara tidak langsug para santri yang mondok telah ber’uzlah, dalam artian menghindar
dari pergaulan bebas. Kedua, mereka berkumpul bersama para kiai dan
ustadz yang membimbing dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama sehingga
selamatlah mereka. Di samping itu juga, melalui pesantren para ulama dapat
menyebarkan nilai-nilai agama kepada masyarakat melalui dakwah bil-hal.
Bahkan
Imam Al-Ghazali menganjurkan agar jangan menjauh dari pesantren sebelum
benar-benar sempurna keilmuan dan keagamaanya. Karena di samping menuntut ilmu,
mereka dapat leluasa dan khusuk
beribadah. Pesantren adalah salah satu benteng yang kokoh dalam mempertahankan
nilai-nilai agama.
Maka
dari itu, tidak ada jalan lain bagi para santri yang menuntut ilmu di pesantren
melainkan bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu dan beribadah kepada Allah SWT ,
agar nilai-nilai agama yang ada pada diri kita sendiri khususnya betul-betul
terpatri dalam hati sanubari. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi as-shawab.
Komentar
Posting Komentar