REKONSTRUKSI MOTIVASI DAN TRADISI PERINGATAN MAULID
Semangat apakah yang sebetulnya diusung Al-Dayba’i,
Al-Barzanji, Al-Habsyi atau Al-Busyiri dibalik penulisan riwayat hidup Nabi Besar
Muhammad saw dengan deretan prosa mutiara dan gubahan bait-bait puisi
mempesona? Tentu lebih dari sekedar pujian, tentu lebih dari sekedar pembacaan
sejarah, dan tentu lebih dari sekedar sebagai lagu wajib disetiap peringatan
maulid.
Bahkan, peingatan maulid
yang dimunculkan pertama kali oleh seorang sufi pada abad keenam hijriah, Abu
Hafsh Mu’inuddin Umar Bin Muhammad Bin Khadir Al-Irbili Al-Maushili, juga
teramat naïf jika kita artikan hanya sekedar mentargetkan capaian-capaian
pragmatis, hal-hal yang bersifat sementara, tanpa memiliki manfaat yang permanen
dan revolusioner.
Tapi peringtan
maulid yang menjadi pemandangan setiap tahun, setidaknya dibeberapa daerah di
Indonesia, lebih menggambarkan sebagai ritual seremonial yang kaku. Kendati
merupakan konstruksi tradisi yang cukup baik, namun tetap mengesankan tak ada
maksud untuk mencapai tujuan secara optimal: ‘meneladeni prilaku rasul saw
secara total, kaffah’.
Penyampaian
teks-teks sejarah secara oral, yang maksud utamanya tak dimengerti oleh
sebagian besar pendengar, menyantap hidangan mewah yang kadang menjadi target
utama; lalu selesai tanpa ada tindak lanjut, atau paling tidak sedikit ‘perubahan’
pada beberapa aspek pola hidup, yang muncul sebagai atsar dari
peringatan tersebut: mau dikatan apa kalau bukan serial-serial kaku?.
Tanpaknya, dalam
setiap peringatn maulid secara tidak sadar kita telah mengaplikasi mentah-mentah
pola muludan yang setiap bulan Rabiul awal dengan perayaan yang luar biasa,
mewah-meriah. Disamping problem motivasi sebagai tempat berpijak peringatan
maulid, disisi lain juga masih tersisa satu hal yang sejak lama berpotensi
menyulut pro-kontra berkepanjangan. Persoalan tradisi yang muncul mengiringi
peringatan maulid, dan dianggap melenceng dari rel yang seharusnya dilalui,
sebetulnya telah ramai sejak salah seorang penguasa Dinasti Fatimiyah (909-117
M) menyelenggarakan peringatan tersebut. Langkah ini secara tidak langsung
dimaksudkan dan dituding sebagai sebuah penegasan kepada khalayak bahwa Dinasti
ini betul-betul keturunan Nabi Muhammad saw. Setidaknya disitu ada dimensi
politis.
Sementara di
Indonesia perdebatan dan sikap pro-kontra di ranah ini merupakan satu paket
dengan berbagai persoalan lain semisal tahlilan, do’a qunut, atau beduk. Jika
dilacak melalui berbagai dekomentasi, selisih paham tentang peringatan maulid
yang cukup tajam terjadi dalam rentang waktu sebelum tahun 1970-an. Pada era
sekarang, perbadaan itu tidak begitu menyengat sama sekali dari wacana
kaum muslimin. Secara sporadis diskusi
terbuka tentang peringatan maulid nabi muncul dalam ruang yang terbatas.
Salah satu sasaran
kritik terhadap perayaan maulid Nabi Muhammad saw. di Indonesia adalah masuknya
nilai-nilai lain yang justru dianggap mendekonstruksi makna maulid nabi sendiri.
Misalnya kegiatan peringatan maulid itu dicemari oleh upacara-upacara berbau
mistik atau tradisi khas budaya Islam Jawa bertepatan dengan 12 Rabiul awal
digelar panggung hiburan yang jelas memunculkan image negatif dan
berlawanan dengan nilai-nilai yang di bawa Nabi Muhammad saw, seperti dangdut
erotis. Kesemuanya merupakan rangkaian problematika yang tampak, gamblang, tapi
anehnya tak terlihat. Terbukti masih terbilang sedikit upaya rekonstruktif yang
mengarah ke objek tersebut.
Disadari atau
tidak, realita berbicara jika problem ini telah menjadi ‘virus’ akut yang memasyrakat.
Maka, penanganannya juga tidak bisa dilakukan secara sepihak. Bisa dibayangkan,
betapa sulitnya mendobrak suatu hal yang telah dianggap final. Jadi perlu ada
semacam ‘konsensus’ bersama yang dibangun dari unsur-unsur yang memiliki suara
berbeda dan sedapat mungkin diakomodir menjadi satu suara yang sejalan dengan
tuntutan syari’at.
Secara esoteris,
kita harus mengisi perayaan maulid dengan semangat, seperti yang pernah
dikobarkan oleh Al-Ayyubi. Jika ia mampu menghadirkan Nabi Muhmmmad saw. di
medan perang, maka seharusnya kita menghadirkan beliau dalam aspek hidup yang
lain; sosial, ekonomi, politik dsb. Karena sejarah, seperti pernah disampaikan
oleh Aristoteles, “merupakan obor masa lalu di tangan saksi sejarah, guna
menerangi para pelaku sejarah masa depan”.
Kita para pelaku
sejarah masa depan, tentu sangat memerlukan pemahaman, penghayatan sekaligus
penerapan tindak langkah Rasulullah saw. sebagai obor penerang. Lalu, apa
jadinya jika sejarah beliau hanya di posisikan sebagai korpus-korpus cerita menakjubkan, namun kering akan
penghayatan dan penerapan, maka hanya pada allah azza wajallah kita berlindung.
Komentar
Posting Komentar